Januari 24, 2008

Karir dan Keluarga

Untuk memulai menulis cerita ini memerlukan waktu berhari-hari lamanya sampai pada saatnya kuputuskan agar jari-jariku mulai melakukan sesuatu. Ini tentang kehidupanku yang mungkin juga menjadi bagian kehidupan dari perempuan-perempuan lain.

“Bapak, I have decided to discontinue my contract for family reason”, kalimat ini kuucapkan dengan pasti sebulan menjelang akhir kontrak kerjaku di ruangan bosku. Bisa dibilang aku mulai menyukai pekerjaan ini, apalagi gaji yg kunikmati sangat menjanjikan. Teman-temanku pun terkejut mendengar keputusanku waktu itu, “sayang sekali, kamu punya kesempatan kerja di tempat yg kata orang sangat sulit mendapatkannya”. Bosku yang orang asing ini pun mengerti akan keputusanku dan memintaku segera mencari pengganti posisiku.

“Ibuk!!!!” suara kecil periku Lita mengoyak lamunanku pagi ini. “Good morning sayang” kugendong tubuh anakku yang berumur 2,5 tahun itu sambil kupandang matanya yang bening. “Ibu baru apa tuh?” pertanyaan pertamanya mulai dilontarkan Lita. “Ibu bikin susu sereal dan roti panggang pisang, sarapan buat ayah dan Lita”, jawabku sambil tanganku mulai menuang air panas ke gelas. “Kok nggak maem nasi?”, “kok pake air panas?”,”kok pake pisang?”, kok pisangnya ditaruh di roti?”…. Demikian aku harus siap menjawab pertanyaan yg bertubi-tubi sampai anakku yang cantik itu puas dengan jawaban yang kuberikan.
Menyiapkan sarapan sudah menjadi bagian rutinitasku selama hampir sebulan ini, tepatnya sejak aku tak bekerja lagi. Saat itu juga suamiku telah kembali dari tugasnya di Amerika selama hampir setahun. Saat-saat seperti inilah yang kuimpikan, berkumpul bersama keluarga.

“Pagi bu, pagi Lita” ayah yang berkaos singlet dengan senyum hangatnya menyapa kami di dapur. “Pagi ayahhhhh” sahut manja Lita sambil minta gendong ayah. Ayah adalah seorang dosen di Jogja yang punya banyak kesempatan dalam hidupnya untuk meraih sukses di karirnya dan kebetulan mendapat beasiswa S3 di Australia mulai tahun ini. Berpisah lagi selama 4 tahun tapi aku bisa berkarir atau ikut ke Australia mengurus keluarga. Karir atau keluarga….. Keluarga adalah alasan kuatku berhenti bekerja.

“Cepet bukk… Lita sudah siap, ayah shake hand dong” teriak halus Lita dengan semangat barunya setelah seminggu lebih ini masuk day-care. Mengantar dan menjemput Lita, menyiapkan makan malam, belanja, nyuci seterika adalah rutinitas baruku yang kusukai. Aku melakukannya sebagai latihan 5 bulan kedepan sebelum berangkat ke Australia yang more and less akan sama situasinya. “Ingat ada 5 hal klo Lita sekolah”, sambil jariku mulai berhitung.”Tidak boleh minta pulang, tidak boleh nangis, makan yang banyak, tidak boleh bertengkar dan klo pipis bilang bu guru” jawab Lita dengan hafal di depan sekolah. “bye-bye ibu”… senyum manis Lita menjadi semangatku hari ini.

Sejak aku berhenti kerja, aku merasa hubunganku dengan anakku yang baru satu ini semakin erat, aku semakin memahaminya dan baru sebulan ini aku mencoba menggali kemampuannya. Ternyata luar biasa…. Lita termasuk anak yg pandai bergaul, pintar dan menyenangkan. Walau aku sudah tidak bekerja, aku sadar profesi baruku, sebagai researcher for human development, juga tak kalah penting dalam hidupku.

“Kok ibu senyum-senyum sendiri” sapa ayah dari belakang mengagetkanku malam ini. “Eh ayah udah pulang, kok gak kedengeran suara pintu kebuka…” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. “Ya karena ibu serius sekali di dapur” ciuman mesra suamiku tercinta menyejukkan hatiku. Ayah adalah sosok suami yang sangat romantis dan cinta yang diberikannya kurasakan tak pernah luntur walau cinta kami sudah berumur 10 tahun. “Maaf ya yah… tadi pagi ibu mendapat pertanyaan dari tetangga yang mengganggu pikiran nih… kok ibu gak kerja? Pertanyaan klise yah… mo neranginnya hmm…. bisa jadi cerpen nanti” senyumku sambil mengaduk sayur lawar yang kudapat resepnya di internet tadi siang. Senyum ayah memaklumi gundah gulanaku dibalik senyumanku. Dirangkulnya pundakku sambil ayah membisikkan di telingaku “maaf ya bu, ibu banyak sekali berkorban untuk ayah… dan terimakasih sudah menjadi istri yang sangat baik”. “Makasih ayah… ibu sadar ini sudah menjadi konsekuensi dari keputusan ibu. Ibu akan support karir ayah semampu ibu. Empat tahun ke depan siapa yang tahu apa yang akan terjadi” Tanganku mengelus pipi ayah dan mencium hangat. Komunikasi seperti inilah yang efektif jika kami menghadapi masalah. “Ini lawar yang paling enak yang pernah ayah makan” puji ayah ketika mulai makan malam. “Ah ayah gombal, ibu kan emang baru pertama ini masak lawar” senyum kami menambah hangat suasana malam ini. Aku berharap segala keputusan yang kami ambil akan membuat keluarga kami menjadi lebih baik.

Kalau dulu aku tak pernah memikirkan bagaimana dulu pengorbanan ibuku, kini aku sadar bahwa ibuku adalah seorang researcher for human development yang berhasil. Thanks ibu.

Januari 10, 2008

Working in WHO

Having a year work experience in WHO is the prestigous thing that I ever had in my life. It is the one of International NGOs which work in health related area in the world. When my first step walk in Bina Mulia Building I floor 7, it was very exciting and also unbelieveble. I looked backward in the history of this. Dr Adi Utarini was the key person who gave me chance to apply a vacancy offered by WHO. She recommended me to send a CV and related documents ASAP. Only in a night I discussed this with my beloved husband for getting his support before I decided to try it. In a day as well, WHO rang me up invited me to attend the interview in Jakarta. Suddenly, my life became messy, because I have to consider that I still have a one year daughter and husband worked in Yogya. But I have to be responsible with my decision, I gone through the panel interview in Wednesday, 12 December 2006. There were 4 candidates interviewed by 3 interviewers (dr Firdosi, Petra dan dr Franky) and I was the youngest both in age and experiences. Most of them had more than 3 years experience in TB related area. But lucky me I was choosen as Research Assistant for TB Program in WHO.

I moved to metropolitan city, Jakarta with my beautiful daughter and temporarily separated with my husband. My husband got a fellowship for 9 months in Australia and New York... so we were really separated :)

Become one of TB Team WHO is my fortune, they just like my family... Mbak Nelsy, Mas Erwin, Mbak Candy, Pak Franky, Pak Servas, Bu Sri, Bu Din, Pak Ribi, Bu Rien and Pak Firdosi... We work together, I learnt many things from them both in public health area and life experiences.

The most important thing highlighted is I also learn about administration and financing that I never learnt before. From my experience, the weakness of the system in WHO is there are no clear regulation in administration and budget for implementer like me. It caused many headaches unrelatted with my profesionalism. Nobody perfect, including WHO... whatever it is, I will never forgot my TB family :) Miss U guys.... Hope I will comeback someday....